BKKBN

Gerakan Nasional Untuk Atasi Tengkes

9 April 2021 | Siaran Pers|

suhu

JAKARTA, KOMPAS — Upaya menurunkan angka tengkes atau stunting baru berjalan efektif dan optimal apabila menyasar langsung ke tiap individu hingga ke level pedesaan atau daerah terpencil lain. Melalui gerakan nasional Indonesia bebas stunting 2030, tengkes diharapkan bisa menjadi isu nasional agar makin banyak pihak menaruh perhatian terhadap persoalan kesehatan tersebut.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, selain di daerah terpencil, penanganan tengkes harus dilakukan dengan cara memberikan pemahaman di wilayah yang tercatat memiliki kasus terbanyak seperti Nusa Tenggara Timur. Sebab, tingkat pemahaman dan kesadaran terhadap tengkes di wilayah itu masih amat minim.

”Salah satu hambatan ialah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat. Jadi sebenarnya tidak banyak orang yang kekurangan nutrisi, tetapi pola pikirnya salah. Contohnya, daerah tersebut memiliki banyak sumber daya ikan, tetapi tidak dikonsumsi,” ujarnya dalam konferensi pers peluncuran gerakan nasional Indonesia bebas stunting 2030 di Jakarta, Kamis (8/4/2021).

Inisiator Gerakan Indonesia Bebas Stunting 2030 Zack Peterson menyampaikan hal serupa. Menurut Zack, untuk mencegah tengkes, upaya yang dilakukan harus menyasar kepada masyarakat hingga tingkat pedesaan melalui pelatihan ataupun penyuluhan. Pencegahan tengkes dinilai akan sia-sia jika upaya yang dilakukan sebatas seminar di tingkat nasional.

”Sekarang mungkin masih ada waktu mengatasi tengkes hingga 2030, tetapi hal ini sudah sangat darurat. Kalau ingin Indonesia bebas stunting, kita harus bertemu dengan ibu-ibu di rumah dan para remaja putri di pedalaman,” ungkapnya.

Agar lebih optimal, menurut Zack, proses penyuluhan juga perlu diberikan kepada laki-laki atau kelompok suami. Peran suami maupun anggota keluarga lainnya akan semakin meningkatkan kesadaran pentingnya pemenuhan gizi ibu hamil beserta kandungannya.

Berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka prevalensi tengkes 2019 sebesar 27,67 persen, turun 3,1 persen dibandingkan dengan Riskesdas 2018. Angka ini lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.

“Sekarang masih ada waktu mengatasi tengkes hingga 2030, tetapi hal ini sangat darurat. Kalau ingin Indonesia bebas stunting, kita harus bertemu ibu-ibu di rumah dan para remaja putri di pedalaman.”

Selain itu, kondisi pandemi Covid-19 juga diyakini memperburuk persoalan tengkes. Sebab, pandemi memengaruhi perekonomian masyarakat sehingga menghambat tumbuh kembang dan pemenuhan gizi anak. Tercatat 60 persen posyandu tidak menjalankan fungsinya dan lebih dari 86 persen program tengkes berhenti akibat pandemi.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta Sari mengatakan, Yayasan Kesehatan Perempuan mencatat tingginya angka kematian ibu (AKI) salah satunya terjadi karena perkawinan anak. Banyaknya kejadian perkawinan anak ini jga berkolerasi terhadap tingginya angka tengkes di Indonesia. (Kompas.id).

Sumber: Kompas.id

BKKBN