BKKBN

Indonesia dan Canada Kerja Sama Fokus Turunkan Stunting

29 June 2021 | Siaran Pers|

suhu

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Depok/28/06/2021 - Dukungan dalam menurunkan angka stunting di Indonesia sangat diperlukan baik dari dalam maupun luar negeri. Sebagai langkah strategis, BKKBN bersama dengan Kedutaan Kanada untuk Indonesia mengadakan acara Ambassador Talks dengan tema " Reproductive Health for Adolescent Girls to Combat Stunting ", yang dilaksanakan secara virtual, Depok/28/06/2021.

Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas), angka stunting di Indonesia telah menurun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,18% pada tahun 2018. Namun, prevalensi tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang berada di 20%.


Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) menjelaskan, “Pada Januari 2021, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah mengamanatkan BKKBN untuk memimpin pelaksanaan program pengurangan stunting. Untuk itu, Presiden menargetkan angka stunting turun dari 27,6% menjadi 14% pada tahun 2024. Melihat target tersebut, Indonesia harus menurunkan angka stunting sebesar 2,7% setiap tahun, oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah luar biasa”, jelas dokter Hasto.

“Meskipun negara telah menjadikan pengurangan stunting sebagai prioritas nasional, tantangannya tetap berat. Oleh karena itu BKKBN membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik nasional maupun internasional dalam rangka percepatan penurunan stunting di Indonesia dan untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh Presiden. Dalam hal ini diperlukan pendekatan kolaboratif multi-sektor dan multi-stakeholder”, jelas dokter Hasto.

Hasto juga menerangkan, “Berbagai intervensi penyebab langsung dan tidak langsung stunting juga diperlukan Intervensi yang dilakukan terhadap penyebab langsung diantaranya; 1) pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan kelompok miskin; 2) sumplementasi tablet tambah darah; 3) promosi dan konseling menyusui; 4) tatalaksana gizi buruk, 5) pemantauan dan promosi pertumbuhan,” terang dokter Hasto.

“Sedangkan intervensi yang menyasar penyebab tidak langsung stunting diantaranya; 1) peningkatan penyediaan air minum dan sanitasi; 2) peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; 3) peningkatan kesadaran, komitmen, dan praktik pengasuhan dan gizi ibu dan anak; 4) peningkatan akses pangan bergizi,” imbuh dokter Hasto.

Kemudian Hasto menambahkan, “Memastikan gizi yang tepat adalah kunci untuk mengoptimalkan kesehatan anak perempuan, wanita hamil, ibu, dan bayi lahir. Dengan demikian, intervensi harus direncanakan sesuai dengan siklus hidup manusia, termasuk pra-kehamilan. Gizi yang tidak memadai untuk ibu hamil dapat berdampak buruk pada ibu dan anak, seperti kematian ibu, kelahiran prematur, keguguran, kekurangan gizi dan risiko kesehatan lainnya termasuk stunting. Oleh karena itu, intervensi sejak dini yang menargetkan remaja putri sangat penting”, tambah dokter Hasto.

Sementara itu, Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN Prof. drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD dalam presentasinya menambahkan, “Masa remaja merupakan masa perkembangan dalam kehidupan baik secara fisik, psikis maupun intelektual. Selama tahap siklus hidup yang luar biasa ini, remaja mengalami perubahan perkembangan yang cepat dan signifikan. Ciri-ciri remaja adalah cenderung ingin tahu dan menunjukkan minat yang luas, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani mengambil resiko atas tindakannya tanpa didahului dengan pertimbangan yang matang. Jika keputusan yang diambil tidak tepat, mereka akan terjerumus ke dalam perilaku berisiko”, tambah Rizal.

“Dari beberapa perilaku berisiko, seks pranikah masih menjadi masalah utama. Perilaku seksual ini dapat mengakibatkan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), aborsi yang tidak aman, berganti-ganti pasangan seksual dan perilaku lain yang berisiko tertular infeksi menular seksual, termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)”, ungkapnya.

“Selain itu, pernikahan dini dan memiliki anak di usia muda merupakan isu penting lainnya di kalangan remaja di Indonesia. Pernikahan dini dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Studi terkait menjelaskan bahwa pernikahan dini di bawah usia 20 tahun meningkatkan risiko stunting pada anak”.

“Acara ini bertujuan untuk memperkuat kemitraan BKKBN dengan Kanada; mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja di Indonesia melalui Kerjasama antara Kanada dengan BKKBN atau GenRe Foundation; mengatasi dan bekerja sama untuk mengurangi kasus stunting di Indonesia; mengembangkan peluang untuk kreasi dan inovasi bersama terkait program bangga kencana, pendidikan, pelatihan, teknologi dan pengetahuan”, terang Rizal.

Ambassador of Canada to Indonesia Cameron MacKay menyebutkan, “Sejak 2018 Kanada mendukung proyek _Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (BERANI)_, yang antara lain membahas kesehatan reproduksi. Dalam konteks pengurangan stunting, keterlibatan laki-laki sangat penting terutama selama kehamilan dan merawat bayi dan bayi. Banyak penelitian, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa semakin banyak ayah terlibat, semakin besar kemungkinan terpenuhinya ASI eksklusif – yang merupakan kunci nutrisi bayi baru lahir. Oleh karena itu, pembagian kerja perawatan yang adil antara laki-laki dan perempuan di rumah tidak hanya baik untuk perempuan tetapi juga untuk seluruh keluarga”, jelas MacKay.

Head of Cooperation, Canadian Embassy in Indonesia Sherry Hornung menambahkan, BERANI berfokus pada peningkatan keterampilan bidan melalui pendidikan dan praktik kebidanan serta pengaturannya; Seksual, Reproductive Health and Rights; penguatan pendidikan seksual yang komprehensif, advokasi dan program berbasis masyarakat untuk pencegahan kekerasan berbasis gender, pernikahan anak dan _Female Genital mutilation (FGM)_,” tambah Sherry.(Humas/TWD).

Depok, 26/06/2021
Biro Umum dan Humas
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

BKKBN